Menelanjangi Matahari Diantara Bongkahan Beton
Kota ini tidak juga berhenti sejenak dari aktifitasnya. Terus saja sibuk dengan segala kepentingan masing-masing pecintanya.
Ya, rasanya boleh saya katakan orang-orang yang menggadaikan hidupnya
di Kota Metropolitan ini adalah para pecinta Ibu Kota Jakarta.
Hari ini, Minggu, yang sesungguhnya merupakan hari liburnya para
pencari sesuap nasi dan sebongkah berlian di Jakarta, namun tidak dengan
dirinya sendiri.
Jakarta terus saja bergerilya, hingga lupa pada pagi yang indah dan telah dijelang dengan sejuta kesibukannya.
Dari lantai 19 bangunan kokoh ini saya perhatikan sejak semalam,
Jakarta belum tidur. Orang-orang masih saja hilir mudik dengan berbagai
jenis kendaraannya, melintasi jalan layang ataupun jalan tikus.
Hingga waktu menunjukkan pukul 02.00 WIB suara bising kendaraan yang
tanpa sadar telah menjadi irama kehidupan ini masih saja terdengar.
Menyibak tirai kamar, nampak jelas lampu-lampu cantik berlomba adu
terang dari berbagai sudut keindahan. Gedung-gedung pencakar langit
bercahaya dari setiap lapisan lantainya, hingga tiang-tiang penyangga
jalan yang dililit lampu kelap kelip.
Pepohonan yang
semestinya hijau namun di malam ini tampak biru karena gelombang cahaya,
hingga ratusan silang kilatan lampu kendaraan yang terus melesat untuk
menambah keindahan.
Disamping bangunan kokoh ini, tampak jelas
terlihat raksasa beton lainnya yang tengah kejar tayang guna
menyelesaikan pembangunan.
Berbagai alat berat, tiang pancang hingga crane penuntas kegagahan terus bergerak sepanjang malam. Dia tidak berhenti bekerja.
Pagi hari saat kembali membuka mata, menikmati balutan kabut yang cuma
seadanya, seraya menghirup udara yang tidak terlalu bebas, saya
memastikan bahwa suara bising itu masih tetap ada.
Pembangunan
gedung terus berjalan. Lalu lintas masih sibuk. Orang-orang semakin
ramai hilir mudik, dan kehidupan di Jakarta ini tak jua rehat sejenak.
Para pecinta Jakarta terus berupaya menaikkan taraf hidupnya dengan berbagai usaha yang diagungkannya masing-masing.
Tidak peduli ini hari apa, tidak peduli ini jam berapa, atau bahkan
mungkin tidak peduli apakah tubuhnya telah mendapatkan haknya.
Mereka terus begerak dari satu titik ke titik lainnya, seakan berlomba dengan segala kesibukannya.
Menelanjangi matahari diantara bongkahan beton. Menikmati terik
matahari diantara bongkahan beton. Hingga melepas kepergian matahari
yang masih tetap diantara bongkahan beton.
Atau mungkin saat berbincang dengan sang bulan dan bintang mereka masih ada diatara bongkahan beton?? Mungkin saja.
Diantara gedung-gedung pencakar langit ini udara melesat untuk kita
hirup. Pepohonan seakan semakin sedikit mendapatkan izin untuk dapat
tumbuh. Bahkan gemericik air alami tak lagi boleh beredar begitu saja,
tanpa ada kubangan biru nan besar hasil buatan tangan manusia.
Para pecinta Jakarta mungkin telah nyaman dengan semua iramanya. Hingga
tanpa sadar mulai dari membuka mata hingga memaksa mata tetap terbuka,
mereka ada diantara bongkahan beton yang dikelilingi jalan raya.
Tubuh tetap memiliki hak untuk diistirahatkan. Sama dengan kota ini,
mungkin boleh sesekali untuk terbebas dari asap knalpot ataupun uap
limbah hasil industri sana sini.
Para bongkahan beton ini pun punya hak untuk berdiri manis sendiri, tanpa disibukkan oleh para pecintanya.
(dnu, ditulis sambil nemenin anak-anak berenang, 1 Maret 2015, 08.55)