Jelajah Seru Ranah Minang
#4
Pantai adalah salah satu objek wisata yang
berpotensi menarik banyak pengunjung terutama pada musim liburan. Keadaan
pantai yang bersih dan bebas dari sampah menjadi syarat utama atas daya tarik
bagi seseorang untuk ingin kembali dan kembali lagi melepas penat di pantai
itu.
Tapi tidak dengan Pantai Air Manis atau yang
dikenal dengan Pantai Malin Kundang yang terletak di Sumatera Barat. Ini adalah
kali pertama saya menginjakkan kaki di Bumi Ranah Minang ini (23/7), dan Pantai
Air Manis yang melegenda menjadi salah satu tujuan utama yang wajib dikunjungi.
Pantai Air Manis adalah salah satu objek wisata
ternama di provinsi Sumatera Barat, namun sangat disayangkan keadaan pantai ini
tidak semanis namanya. Pengelolaan yang tidak teratur dari segala sisinya bisa
ditemukan disini.
Mulai dari kurang lebih 2 kilo meter sebelum
memasuki area pantai para calon pengunjung telah disuguhi lebih dari 4 kali
anak-anak yang meminta uang di pinggir jalan. Dengan menggunakan kardus bekas
mereka menginformasikan berapa jauh lagi perjalanan yang harus ditempuh menuju
pantai sambil meminta uang seikhlasnya.
Begitu memasuki arena perhelatan pantai pengunjung
akan diberi kebebasan sebebas-bebasnya. Mulai dari bebas parkir hingga bebas
membuang sampah di mana saja.
Bebas parkir disini maksudnya adalah pengunjung
yang membawa kendaraan bebas memarkir kendaraannya di mana saja. Bahkan hingga
ke bibir pantai. Bebas. Asal bersiap saja jika mobil harus tergulung ombak.
Tidak terlihat adanya pengelola parkir di pantai
ini. Semua pengunjung bebas berhenti dimana saja. Mungkin jika bisa parkir di
tengah laut maka hal ini juga akann dilakukan.
Kebebasan yang ke dua adalah bebas membuang sampah
dimana saja. Pengunjung yang hadir disana, begitu mengijakkan kaki di bibir
pantai akan langsung disuguhkan pemandangan sampah yang amat banyak dan
berserakan di berbagai titik. Mulai dari sampah plastic hingga sampah sisa
makanan.
Jika pengunjung kelaparan dan kehausan di sini
jangan khawatir karena para penjaja makanan dan minuman amat mudah ditemukan
disini. Tapi jangan coba-coba mencari seonggok tempat atau tong sampah karena
untuk bisa menemukannya sulitnya minta ampun! Baiklah, tempat sampah mungkin
tidak ada yang peduli untuk menyediakan maka gerakan dan budaya bebas membuang
sampah di pantai legendaris ini telah menjadi hal yang amat biasa.
Sebilah papan yang bertuliskan “dilarang membuang
sampah sembarangan” pun saya tak berhasil menemukannya. Apakah ketidakberadaan
hal-hal ini yang menyebabkan seseorang tidak turut bertanggung jawab untuk
menjaga kebersihan area di sekitarnya? Entahlah.
Kebebasan yang berikutnya adalah bebas berfoto
dengan batu legenda Malin Kundang dari sisi mana saja. Bahkan menginjak batu
tersebutpun sebagai akibat dari rebutan posisi antar orang-orang yang ingin
mengambil gambar kerap terjadi.
Lagi-lagi saya miris melihat kejadian ini.
Terlintas tanya dibenak saya mengapa di sekitar batu dan Malin Kundang tersebut
tidak didirikan pagar? Bukan untuk menjauhkan antara pengunjung dengan sang
legenda, tapi hanya alasan ketertiban yang semestinya berlaku di pantai ini.
Batu tersebut adalah bukan batu biasa,
keberadaannya membawa sebaris kisah yang amat melegenda. Hal ini juga menjadi
cerita rakyat yang telah banyak digunakan oleh para guru di sekolah untuk
mengajarkan kepada muridnya tentang sikap seorang anak yang tidak boleh melawan
Ibu yang telah melahirkannya.
Hal ini berarti betapa kisah tesebut telah menjadi
hal yang penting bagi dunia pendidikan di Indonesia. Maka menurut saya, segala
hal yang terkait dengannya hendaknya dapat dijaga dengan sebaik mungkin. Mulai
dari bentangan pantainya yang amat sangat perlu dijaga kebersihannya, penjagaan
melalui kelilingan besi pagar di sekitar batu Malin Kundang, pengelolaan perparkiran
pengunjung pantai, hingga dukungan masyarakat terhadap siapa saja yang tertarik
berkunjug ke pantai ini dengan cara tidak melakukan permintaan retribusi ilegal
yang entah apa tujuannya.
Sampah dimana-mana, parkir bebas hingga nyaris ke
mulut pantai, serta bebas menginjak-injak batu legenda Mali Kundang menjadi
pemandangan mengharukan yang ada di pantai ini.
Saya sebagai pelancong dari Jakarta dan sebagai
pengagum budaya Sumatera Barat amat miris menyaksikan ini semua di depan mata.
Sangat jauh dari ekspektasi.
Entah mengapa nampaknya tidak ada pengelola yang
benar-benar resmi mengurus pantai yang menjadi tobjek wisata ini sehingga
terjadi berbagai hal-hal negatif di sekitarnya.
Mungkin para pemuda yang merasa sayang dengan
pantai ini bisa segera melakukan suatu gerakan pungut sampah dalam rangka
mewujudkan rasa sayang terhadap legenda malin kundang.
Bayangkan, jika Pantai Air Manis ini benar-benar
manis dari segala sisinya, bukan tidak mungkin akan semakin banyak wisatawan
yang tertarik untuk berkunjung. Maka dengan demikian pendapatan daerah akan
menigkat melalui penataan objek wisata yang maksimal baiknya.
Sayang kan pantai legendaris yang bernama Pantai
Air Manis tapi tampaknya sungguh tak manis :(
(dnu, ditulis dalam perjalanan kembali dari Pantai
Air Manis – Sumatera Barat, 23 Juli 2015, 14.05 WIB)
Parkir di tengah laut juga kayanya boleh-boleh aja...
Sampah dimana-mana huhu....